Penulis : Redaksi

Indonesia akan memperingati Hari Pramuka ke-64 dengan tema ‘Kolaborasi untuk Membangun Ketahanan Bangsa’ pada 14 Agustus 2025. Momen penting ini mengingatkan kita pada misi luhur Gerakan Pramuka dalam membentuk generasi muda yang mandiri, terampil bekerja sama, dan memiliki kepemimpinan yang berkarakter. Nilai-nilai inilah yang menjadi pondasi kokoh menghadapi tantangan zaman – mulai dari disrupsi digital hingga krisis moral berupa kerusakan lingkungan dan praktik korupsi yang menggerogoti sendi-sendi bangsa

Menteri Agama Nasaruddin Umar telah menegaskan pentingnya prinsip pelestarian alam dalam kurikulum pendidikan agama (Kemenag.go.id, 22 Januari 2025), sejalan dengan penguatan gerakan anti-korupsi melalui kolaborasi Kemenag–KPK yang telah menjangkau 2.838 satuan pendidikan di bawah Kemenag (kpk.go.id, 19 Desember 2024). Momentum Hari Pramuka ini menjadi saat yang tepat untuk meneguhkan kembali komitmen madrasah melahirkan generasi peduli lingkungan, menolak korupsi, dan tangguh menghadapi perubahan zaman.

Bagi madrasah, Pramuka adalah amanah pendidikan karakter yang diwujudkan melalui pengalaman langsung, bukan sekadar ceramah di kelas. Peserta didik belajar memimpin regu, memecahkan masalah di lapangan, dan bertanggung jawab atas keputusan. Simpul tali melatih kesabaran, pionering mengajarkan kerja sama, penjelajahan alam menumbuhkan kesadaran ekologis. Pembiasaan konsisten inilah yang membentuk karakter kokoh—integritas dibangun melalui janji kepada regu, demokrasi dipraktikkan dengan mengesampingkan ego pribadi.

Pramuka madrasah berfungsi sebagai laboratorium hidup yang mengubah nilai-nilai abstrak menjadi tindakan nyata, seperti pelestarian alam dan kejujuran melalui kegiatan konkret (menjaga kebersihan, penghematan air, serta transparansi pengelolaan perlengkapan). Kolaborasi antara guru, madrasah, keluarga, dan masyarakat—didukung regulasi (Permendikdasmen Nomor 13 Tahun 2025) dan sinergi Kemenag-KPK dalam pendidikan anti-korupsi—memastikan Pramuka tidak hanya melatih keterampilan lapangan, tetapi juga membangun kesadaran ekologis, integritas moral, dan ketangguhan karakter di era digital.

Dinamika Pramuka Madrasah

Perjalanan regulasi kepramukaan di Indonesia mengalami pasang surut kebijakan yang mencerminkan dialektika antara idealisme pendidikan karakter dan realitas sistem pendidikan. Puncaknya adalah Permendikbud Nomor 12 Tahun 2024 yang mencabut status wajib ekstrakurikuler Pramuka, menimbulkan kekhawatiran luas tentang degradasi pembinaan karakter. Kebijakan ini ibarat pisau bermata dua—di satu sisi memberi fleksibilitas, di sisi lain mengikis fondasi pendidikan nilai yang selama ini dibangun melalui tradisi kepramukaan.

Respons dunia pendidikan terhadap perubahan regulasi ini layak menjadi catatan penting, bahkan beberapa satuan pendidikan termasuk madrasah mengalami disorientasi ketika struktur pembinaan karakter yang selama ini terbangun melalui Pramuka tiba-tiba kehilangan landasan hukumnya. Ruang pendidikan karakter non-akademik menyempit, sementara tekanan terhadap pencapaian akademik semakin mendominasi. Situasi ini memunculkan pertanyaan kritis: mampukah pendidikan karakter bertahan tanpa kerangka regulasi yang jelas?

Angin segar datang melalui Permendikdasmen Nomor 13 Tahun 2025 yang menegaskan kembali posisi strategis Pramuka. Meski tidak seketat regulasi sebelumnya, kebijakan baru ini memberikan legitimasi penting dengan mewajibkan setiap satuan pendidikan sekolah dan madrasah menyediakan program wajib kepramukaan. Regulasi ini bukan sekadar pengakuan formal, melainkan pintu masuk untuk transformasi—dari kegiatan seremonial menjadi program terstruktur yang terintegrasi dengan kurikulum pendidikan karakter di sekolah dan madrasah.

Dengan payung hukum yang lebih jelas, madrasah kini memiliki peluang untuk mendesain ulang program Pramuka secara kreatif. Tantangannya adalah bagaimana mengubah kerangka regulatif menjadi praktik edukatif yang bermakna—bukan sekadar memenuhi kewajiban administratif, tetapi benar-benar menjadikan Pramuka sebagai laboratorium hidup pembentukan karakter. Ini membutuhkan alokasi sumber daya yang proporsional dan komitmen seluruh pemangku kepentingan.

Dinamika regulasi terakhir ini menunjukkan bahwa Pramuka di madrasah sedang bergerak menuju fase baru—dari kegiatan tambahan menjadi elemen esensial pendidikan karakter. Perubahan ini selaras dengan visi besar ekoteologi dan anti-korupsi, di mana nilai-nilai Pramuka tidak lagi diajarkan sebagai materi terpisah, tetapi diinternalisasi melalui praktik nyata dalam ekosistem pendidikan madrasah yang holistik.

Ekoteologi dan Anti-Korupsi

Gerakan ekoteologi yang digalakkan Kementerian Agama bukan sekadar kampanye lingkungan, melainkan revolusi paradigma yang menyatukan kesalehan ekologis dengan spiritualitas. Dalam konteks madrasah, pendekatan ini menemukan momentum tepat, di mana alam tidak lagi dipandang sebagai objek eksploitasi, tetapi sebagai amanah ilahiyah yang membutuhkan tanggung jawab kolektif. Pramuka menjadi medium ideal untuk mentransformasikan kesadaran ini menjadi aksi nyata, sekaligus membangun jembatan antara kesalehan individu dan tanggung jawab sosial.

Ironisnya, akar kerusakan alam dan praktik korupsi ternyata bersumber dari mentalitas yang sama: keserakahan dan pengabaian terhadap kemaslahatan bersama. Ketika seorang pejabat menggelapkan anggaran negara, ia melakukan dosa sosial yang paralel dengan perusak lingkungan yang mencemari sungai—keduanya lahir dari kegagalan memandang sumber daya sebagai titipan yang harus dipertanggungjawabkan. Pramuka madrasah, melalui pendekatan ekoteologi, hadir untuk memutus mata rantai mentalitas destruktif ini sejak dini.

Green Madrasah Camp bisa menjadi laboratorium hidup pendidikan karakter. Saat peserta didik praktik mengelola sampah atau merancang biopori, mereka langsung melihat dampak tindakannya terhadap ekosistem. Refleksi malam hari dengan tadabur QS. Al-A’raf: 56 kemudian mengubah pengalaman fisik ini menjadi kesadaran spiritual – bahwa setiap daun yang mereka pelihara adalah bentuk ketaatan pada Sang Pencipta.

Pendidikan anti-korupsi dalam Pramuka madrasah mengambil bentuk yang subtil namun mendalam. Setiap kegiatan dirancang untuk mengekspos peserta didik pada prinsip-prinsip dasar integritas: transparansi dalam pengelolaan logistik perkemahan, akuntabilitas pembagian tugas, hingga sanksi sosial bagi yang melanggar kesepakatan bersama. Hal sederhana seperti menghitung ulang peralatan regu sebelum pulang atau melaporkan temuan sampah di jalur pendakian menjadi micro-training kejujuran yang berdampak makro.

Kekuatan pendekatan ini terletak pada kemampuannya menciptakan paradoks pedagogis: meski berfokus pada pembinaan karakter individu, dampaknya bersifat kolektif. Seorang Pramuka yang terbiasa memilah sampah di perkemahan akan menjadi agen perubahan di keluarganya; kelompok yang rutin melakukan audit penggunaan air di madrasah akan mengembangkan kepekaan terhadap penyimpangan di ranah publik. Inilah yang membedakan Pramuka madrasah dengan pendidikan karakter konvensional—ia membangun antibodi moral melalui pengalaman, bukan hafalan.

Integrasi ekoteologi dan anti-korupsi juga menjawab kritik atas pendekatan dikotomis dalam pendidikan agama. Dengan menjadikan alam sebagai “kitab terbuka” dan korupsi sebagai “dosa struktural”, peserta didik diajak melihat agama bukan sekadar ritual vertikal, tetapi juga tanggung jawab horizontal. Penyadaran ini penting di era di muda yang kerap terjebak dalam spiritualitas individualistik namun abai terhadap krisis ekologis dan moral bangsa.

Pada akhirnya, Pramuka madrasah tidak sekadar melatih generasi muda untuk survive di alam terbuka, tetapi juga membekali mereka moral survival skills di tengah gempuran budaya instan dan hedonistik. Ketika seorang Pramuka menolak menggunakan plastik sekali pakai atau melaporkan ketidaksesuaian penggunaan dana regu, ia sedang mempraktikkan resistensi terhadap budaya koruptif—dimulai dari hal terkecil, tetapi berdampak sistemik. Inilah warisan terbesar Gerakan Pramuka: menyiapkan generasi yang tidak hanya cinta alam, tetapi juga berani membersihkan “sampah moral” di masyarakat.

Guru Penggerak Pendidikan Karakter

Di tangan guru madrasah, Pramuka menjelma menjadi ruang hidup pendidikan karakter yang sesungguhnya. Mereka bukan sekadar pembina kegiatan, melainkan teladan yang menanamkan nilai melalui setiap aksi nyata. Saat mengajarkan simpul tali, mereka menumbuhkan kesabaran. Ketika memimpin pionering, mereka mengukuhkan kerja sama. Di setiap penjelajahan alam, mereka menanamkan kesadaran ekologis. Di sini, pendidikan tidak lagi berupa teori di kelas, melainkan pengalaman yang membekas dalam sanubari peserta didik.

Menyongsong Hari Pramuka ke-64, guru madrasah hadir sebagai jembatan penghubung antara madrasah, keluarga, dan masyarakat. Kolaborasi ini mengubah Pramuka dari rutinitas menjadi gerakan kolektif pembentuk karakter. Setiap kegiatan dirancang untuk melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berintegritas dan peduli lingkungan. Bakti lingkungan menjadi pembelajaran tentang tanggung jawab, sementara perkemahan mengajarkan kemandirian dan kerja sama.

Pada akhirnya, melalui Pramuka, guru madrasah tidak sekadar mengajar, tetapi menumbuhkan nilai-nilai luhur. Mereka hadir sebagai pendidik sekaligus sahabat yang menginspirasi. Di usia Pramuka yang ke-64 ini, semangat mereka terus menyala dan membimbing siswa madrasah yang mampu menjaga alam dan gerakan moral anti-korupsi sebagai pondasi kehidupan generasi penerus bangsa yang hebat bermartabat. Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.—-

Dr. A. Umar, MA (Dosen FITK UIN Walisongo Semarang; Pengurus Kwarda 11 Gerakan Pramuka Jawa Tengah 2003–2008)