Penulis : Redaksi

Negara ini sedang mengalami krisis yang tidak disebut dalam konstitusi, tapi terasa di denyut nadi demokrasi: krisis akal sehat. Wartawan yang mestinya diberi penghargaan karena membongkar dugaan pengepulan BBM ilegal, justru dijemput aparat dan dimasukkan ke dalam sel. Sementara mafia — yang diduga mencuri sumber daya negara — duduk tenang di kursi kekuasaan, mungkin sambil meneguk kopi di meja kekebalan hukum.

Kita hidup di era ketika menulis kebenaran menjadi tindakan kriminal, dan menyembunyikan kebusukan dianggap sebagai strategi bisnis. Ironis? Tidak. Ini lebih dari ironis. Ini absurditas yang dilembagakan. Wartawan dituduh memeras, padahal jelas pihak yang menawarkan uang adalah mereka yang ingin membeli diamnya pers.

Jadi siapa sebenarnya pemeras? Siapa pelaku niat jahat (mens rea) dalam peristiwa itu?

Dalam logika negara waras, wartawan yang membongkar kejahatan mestinya diberi ruang, bukan dipasung. Tapi negeri ini terlalu sibuk membungkus korupsi dengan seragam, mengganti kebusukan dengan nama program, dan menyamarkan ketakutan terhadap kebenaran dengan kata “penegakan hukum”.

Ini bukan hanya kriminalisasi wartawan. Ini adalah dekonstruksi terhadap kebebasan berpikir. Kita sedang disuguhi tontonan bagaimana kekuasaan mempermainkan logika, mengganti keadilan dengan pengamanan citra, dan memperlakukan hukum sebagai properti politik.

Jangan salah: ini bukan sekadar tentang tiga wartawan. Ini adalah peringatan untuk setiap orang yang masih punya keberanian menyuarakan yang benar. Hari ini wartawan dikriminalisasi karena menulis kebenaran, besok bisa jadi aktivis, akademisi, atau siapa saja yang berpikir bebas akan mengalami nasib serupa.

Negara ini tidak takut pada mafia. Negara ini takut pada narasi. Sebab narasi bisa mengguncang struktur, sementara mafia hanya menggoyang pendapatan negara. Mafia bisa dinegosiasi, tapi narasi tidak bisa dinego — ia mengandung gagasan, dan gagasan yang radikal bisa membakar tumpukan kompromi busuk dalam sistem.

Jadi, ketika wartawan dipenjara, itu bukan karena mereka salah. Tapi karena mereka mengganggu kenyamanan para pelindung kekuasaan.

Kita sedang menyaksikan tragedi epistemologis: pengetahuan dimusuhi, kebenaran dianggap ancaman, dan pers disulap jadi musuh negara. Tapi di sinilah pertarungan akal sehat harus dimulai. Demokrasi tanpa keberanian berpikir hanya akan menjadi dekorasi. Dan kalau kita biarkan ini terus berjalan, sebentar lagi pena akan dipatahkan oleh tangan negara, dan suara akan dibungkam oleh uang.

Maka biarlah opini ini menjadi alarm. Bukan sekadar untuk membela wartawan, tapi untuk membela akal sehat kita sendiri.