Penulis : Redaksi

Jakarta — Purbaya Yudhi Sadewa resmi ditunjuk sebagai Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani. Tugas berat menantinya, terutama dalam mengawal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.

Sebagai “pemain pengganti”, Purbaya harus memastikan target pendapatan negara sebesar Rp3.005,1 triliun tercapai. Padahal, dalam Outlook APBN 2025, Sri Mulyani sebelumnya sudah memprediksi penerimaan hanya akan mencapai Rp2.865,5 triliun. Sejumlah sumber penerimaan pun hilang, mulai dari Rp71 triliun akibat batalnya kenaikan PPN 12 persen hingga Rp80 triliun dari dividen BUMN yang dialihkan ke Danantara.

Sementara itu, efisiensi belanja negara yang diinstruksikan Presiden Prabowo Subianto belum banyak menekan pengeluaran. Data Kementerian Keuangan mencatat belanja negara hanya berkurang dari Rp3.621,3 triliun menjadi Rp3.527,5 triliun.

Akibatnya, defisit APBN 2025 diproyeksikan melebar dari 2,53 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) atau Rp616,2 triliun menjadi 2,78 persen atau sekitar Rp662 triliun.

Tantangan Purbaya berlanjut pada APBN 2026 yang sudah diumumkan Presiden Prabowo melalui Pidato RAPBN di DPR RI, Jumat (15/8). Target penerimaan negara ditetapkan Rp3.147,7 triliun dengan belanja tembus Rp3.786,5 triliun.

Meski beban besar menanti, Purbaya menegaskan tidak akan ada kenaikan tarif maupun pajak baru. “Belum ada instruksi khusus dari Presiden Prabowo. Saya hanya disuruh belajar ke Dirjen Pajak,” ujarnya di Jakarta, Senin (8/9).

Menurutnya, strategi realistis untuk meningkatkan penerimaan adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi karena tax ratio cenderung stagnan.

Saran Ekonom untuk Purbaya

Ekonom Core Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai Purbaya harus melanjutkan pekerjaan rumah yang belum selesai di era Sri Mulyani, terutama soal peningkatan tax ratio.

Tax ratio Indonesia tercatat rendah, yakni 10,31 persen pada 2023 dan turun menjadi 10,08 persen di 2024. Yusuf menilai solusi realistis adalah kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak yang dibarengi pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, penerbitan surat utang bisa menjadi opsi, meski risikonya harus dikelola dengan hati-hati. Yusuf juga menyarankan agar program prioritas Prabowo disesuaikan secara realistis, misalnya dimulai dengan proyek percontohan sebelum dijalankan dalam skala besar.

Pajak Alternatif dan Realokasi Anggaran

Direktur Kebijakan Fiskal CELIOS, Media Wahyu Askar, menekankan agar Purbaya tidak menempuh jalan instan dengan menaikkan tarif pajak yang dinilai regresif. Sebaliknya, ia menyarankan pajak progresif dan penguatan pajak alternatif.

CELIOS mencatat ada 10 sumber pajak alternatif dengan potensi Rp524 triliun per tahun. Di antaranya pajak kekayaan (Rp81,6 triliun), pajak karbon (Rp76,4 triliun), pajak batu bara (Rp66,5 triliun), pajak digital (Rp29,5 triliun), hingga cukai minuman berpemanis (Rp3,9 triliun).

Media juga menekankan pentingnya pengelolaan utang secara produktif, termasuk opsi debt swap yang bisa diarahkan pada program pembangunan, seperti debt for nature swap dan debt for climate swap.

Selain mencari tambahan penerimaan, reformasi belanja negara juga dinilai krusial. Media menyoroti tiga program prioritas Prabowo, yaitu Makan Bergizi Gratis (MBG), Sekolah Rakyat, dan Koperasi Desa Merah Putih.

Ia mencontohkan, program MBG membutuhkan anggaran jumbo Rp335 triliun pada 2026. Media menyarankan realokasi sebagian anggaran ke sektor lain yang lebih berdampak langsung, seperti subsidi BPJS Kesehatan atau bantuan subsidi upah (BSU).

“APBN harus di-review kembali. Jangan sampai anggaran jumbo digelontorkan untuk program yang belum jelas dampaknya. Realokasi anggaran akan lebih terasa manfaatnya bagi masyarakat,” pungkas Media.