Provinsi Jambi diformulasikan sebagai salah satu simpul utama dalam jaringan pengembangan ekonomi berkelanjutan di Pulau Sumatera, sebagaimana ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025. Dengan mempertimbangkan lanskap geografis dan karakter sosial-ekonomi yang kompleks, arah pembangunan wilayah ini dibagi ke dalam empat kawasan strategis:
-
Kawasan Pertumbuhan
-
Kawasan Komoditas Unggulan
-
Kawasan Swasembada Pangan-Air-Energi
-
Kawasan Konservasi dan Rawan Bencana
Secara teknokratik, kerangka ini merepresentasikan upaya untuk menyinergikan sumber daya, fungsi, dan potensi lintas kawasan. Namun, dalam praktik, realitas spasial Jambi justru menunjukkan gejala fragmentasi yang rawan konflik. Tumpang tindih lahan, kepentingan ekonomi yang saling bersaing, serta lemahnya koordinasi lintas sektor dan antarlevel pemerintahan menciptakan ruang-ruang ketegangan yang mengancam integrasi pembangunan.
Tanpa tata kelola lintas sektor yang adaptif dan kolaboratif, keterpaduan ini berisiko sekadar menjadi peta konseptual yang jauh dari kenyataan di lapangan. Untuk memahami dinamika ini, perlu ditelusuri peran masing-masing kawasan strategis berikut:
1. Kawasan Pertumbuhan: Poros Ekonomi dan Simpul Mobilitas
Lima wilayah perkotaan menjadi motor penggerak ekonomi Jambi: Kawasan Perkotaan Jambi, Kawasan Pariwisata Unggulan Candi Muaro Jambi, Bangko, Muara Bungo, dan Sungai Penuh.
Kota Jambi sebagai ibu kota menyumbang lebih dari 23% PDRB provinsi (BPS Provinsi Jambi, 2023), menjadikannya pusat logistik dan distribusi utama. Candi Muaro Jambi dengan luas 3.981 hektare (Ditjen Kebudayaan, 2023) menjadi ikon budaya sekaligus magnet ekonomi kreatif, yang telah masuk daftar sementara UNESCO World Heritage Site.
Di barat dan selatan, Bangko dan Muara Bungo tumbuh sebagai simpul ekonomi regional, dengan Bandara Muara Bungo memperkuat konektivitas. Nilai transaksi ritel di kedua kawasan ini naik rata-rata 6,1% per tahun (Dinas Perdagangan, 2023). Sungai Penuh menjadi gerbang hortikultura Dataran Tinggi Kerinci.
2. Kawasan Komoditas Unggulan: Episentrum Ekonomi Rakyat
Kabupaten Bungo, Tebo, Muaro Jambi, Batanghari, Merangin, Tanjab Barat, dan Tanjab Timur menjadi lumbung kelapa sawit dan karet.
Luas kebun sawit mencapai 1,14 juta hektare, dengan Tebo dan Batanghari sebagai penyumbang terbesar (Dinas Perkebunan, 2023). Produksi karet mencapai 300 ribu ton/tahun dan kelapa rakyat 120 ribu ton/tahun (BPS, 2023). Kawasan ini juga menjadi prioritas program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dan hilirisasi berbasis koperasi dan UMKM.
3. Kawasan Swasembada Pangan, Air, dan Energi: Pilar Ketahanan
Tiga sub-kawasan strategis menopang kemandirian pangan dan energi:
-
Tanjab Barat, Tanjab Timur, Muaro Jambi: irigasi pasang surut untuk padi dan palawija, menyumbang 47% luas panen padi.
-
Cekungan Batanghari: tulang punggung hidrologi dan pengembangan EBT, dengan 65 titik potensi PLTS dan biomassa (Dinas ESDM, 2023).
-
Bukit Barisan Tengah (Kerinci, Merangin, Sungai Penuh): hortikultura dan mikrohidro, menyumbang 70% kentang dan 68% cabai merah provinsi (RPJMD 2021–2026).
4. Kawasan Konservasi dan Rawan Bencana: Jantung Ekologis
Empat taman nasional—Bukit Duabelas, Bukit Tigapuluh, Berbak-Sembilang, Kerinci Seblat—menjadi tulang punggung ekologis dengan luas total 2,1–2,3 juta hektare (Dinas Kehutanan, 2024).
Taman Nasional Bukit Duabelas, habitat Orang Rimba, menghadapi perambahan liar. Bukit Tigapuluh, rumah harimau dan gajah, terancam konversi lahan. Taman Nasional Berbak sebagai kawasan gambut rawan kebakaran. Kerinci Seblat, bagian dari UNESCO Tropical Rainforest Heritage, rawan longsor dan gempa bumi.
Menurut BPBD Jambi (2023), lebih dari 60% bencana alam terjadi di kawasan konservasi atau penyangganya.
Potensi Konflik Spasial
Realitas di lapangan menunjukkan tumpang tindih fungsi ruang: konservasi versus perkebunan sawit, tambang ilegal, pemukiman transmigrasi, industri batubara, hingga energi terbarukan yang berbenturan dengan pertanian dan konservasi sungai.
Contoh nyata adalah Sungai Batanghari yang melewati banyak kabupaten tetapi dikelola secara terpisah, sehingga kebijakan satu wilayah berdampak negatif pada wilayah lain.
Multi-Level Governance: Menjawab Fragmentasi
Menghadapi kompleksitas ini, pendekatan multi-level governance menjadi kebutuhan strategis.
Tiga prasyarat penting:
-
Penguatan sistem informasi geospasial: penerapan One Map Policy yang sinkron dari pusat hingga daerah.
-
Pelibatan aktif masyarakat lokal: sejak perencanaan hingga pengawasan.
-
Penguatan kapasitas tata kelola: adaptif, kolaboratif, lintas sektor.
Tanpa itu, integrasi pembangunan hanya berhenti pada dokumen konseptual yang tidak menjawab dinamika konflik nyata.
Pendekatan ini bukan sekadar kerangka teknokratik, tetapi keharusan strategis untuk menyatukan perencanaan lintas kawasan dan memastikan pembangunan Jambi berlangsung inklusif, terkoordinasi, dan berkelanjutan.
