Penulis : Redaksi

Jakarta – Harga minyak dunia masih bertahan di level tinggi pada perdagangan Rabu (3/9) pagi, dipicu oleh sanksi terbaru Amerika Serikat (AS) terhadap jaringan penyelundupan minyak Iran.

Selain itu, pasar juga menunggu hasil pertemuan OPEC+ yang akan berlangsung akhir pekan ini, sehingga membuat harga minyak bergerak terbatas.

Mengutip Reuters, harga minyak Brent turun tipis 1 sen atau 0,01 persen menjadi US$69,13 per barel. Sementara harga minyak West Texas Intermediate (WTI) naik 4 sen atau 0,06 persen ke level US$65,63 per barel.

Sehari sebelumnya, harga minyak sempat naik lebih dari 1 persen setelah AS menjatuhkan sanksi kepada sejumlah perusahaan pelayaran dan kapal yang dipimpin seorang pengusaha berdarah Irak-Kittitian. Ia dituduh menyelundupkan minyak Iran dengan melabelinya sebagai minyak Irak.

Faktor Lain Penggerak Harga Minyak

Selain efek sanksi, harga minyak turut mendapat dukungan dari ekspektasi penurunan stok minyak mentah AS. Namun, sentimen positif itu terbatas akibat lemahnya data ekonomi Negeri Paman Sam.

Aktivitas manufaktur AS tercatat mengalami kontraksi enam bulan berturut-turut. Kondisi ini dipicu dampak kebijakan tarif perdagangan yang diberlakukan Presiden Donald Trump, sehingga menimbulkan kekhawatiran terhadap prospek permintaan minyak ke depan.

Pasar Tunggu Pertemuan OPEC+

Pasar global kini menanti agenda pertemuan delapan negara anggota OPEC dan sekutunya yang dijadwalkan pada 7 September. Para analis memperkirakan tidak akan ada perubahan besar dalam kebijakan produksi minyak.

Faktor Geopolitik Global

Di sisi lain, tensi geopolitik juga ikut memengaruhi harga. Pada Rabu pagi, China menggelar parade militer terbesar dalam sejarah untuk memperingati 80 tahun kemenangan atas Jepang di akhir Perang Dunia II.

Acara itu dihadiri Presiden Xi Jinping, Presiden Rusia Vladimir Putin, dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un. Parade berlangsung setelah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Shanghai Cooperation Organisation (SCO) pada 31 Agustus–1 September, di mana China menyampaikan visinya untuk tatanan global baru yang dinilai menantang dominasi AS.

Sejumlah pengamat menilai, langkah tersebut bisa mendorong Presiden Trump untuk menerapkan sanksi sekunder tambahan, yang berpotensi makin menekan pasar energi global.