Penulis : Redaksi

Selama ini, publik mengenal dua naskah otentik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Pertama, naskah tulisan tangan Soekarno berdasarkan dikte Muhammad Hatta. Kedua, versi ketikan Sayuti Melik, sekretaris pribadi Soekarno.

Proses penyusunan naskah tersebut berlangsung di kediaman Laksamana Maeda, perwira tinggi Jepang, di Jalan Imam Bonjol No. 1, Jakarta. Meski berlokasi di rumah seorang petinggi militer Jepang, penyusunan naskah murni dilakukan oleh tokoh-tokoh Indonesia tanpa kehadiran pihak Jepang. Laksamana Maeda hanya menyediakan tempat.

Dalam pembukaan rapat, Soekarno menegaskan bahwa pertemuan ini bukanlah rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), melainkan rapat wakil-wakil bangsa Indonesia.

Menurut buku Wawancara dengan Sayuti Melik yang disusun Arief Priyadi (Yayasan Proklamasi Centre for Strategic and International Studies, 1986), hanya Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo yang aktif menyusun konsep naskah Proklamasi. Di ruangan itu, hadir pula Sukarni dan Sayuti Melik yang mengaku hanya mengangguk saat diminta pendapat.

Dalam proses penyusunan, Hatta dan Soebardjo lebih banyak berdiskusi, sementara Soekarno menuliskannya. Setelah selesai, konsep dibacakan kepada perwakilan yang hadir. Perdebatan sempat terjadi ketika tokoh pemuda Chaerul Saleh menolak penandatanganan oleh anggota PPKI lain karena dianggap terlalu dekat dengan Jepang. Akhirnya disepakati bahwa naskah ditandatangani hanya oleh Soekarno dan Hatta.

Soekarno kemudian memerintahkan Sayuti Melik untuk mengetik naskah tersebut. Dalam pengetikan, Sayuti melakukan perubahan ejaan dari “wakil-wakil bangsa Indonesia” menjadi “Atas nama Bangsa Indonesia” serta menambahkan nama “Soekarno-Hatta”. Sayuti mengaku berani melakukan perubahan karena merasa lebih memahami ejaan bahasa Indonesia berkat latar belakang pendidikannya sebagai calon guru.

Naskah Tulisan Tangan Soekarno Nyaris Hilang

Dalam buku Samudera Merah Putih 19 September 1945, Jilid 1 (1984) karya Lasmidjah Hardi, alasan Presiden Sukarno memilih tanggal 17 Agustus sebagai waktu proklamasi kemerdekaan adalah karena Bung Karno mempercayai mistik. (Dok.Arsip Nasional RI)
Dalam buku Samudera Merah Putih 19 September 1945, Jilid 1 (1984) karya Lasmidjah Hardi, alasan Presiden Sukarno memilih tanggal 17 Agustus sebagai waktu proklamasi kemerdekaan adalah karena Bung Karno mempercayai mistik. (Dok.Arsip Nasional RI)

Setelah pengetikan selesai, konsep tulisan tangan Soekarno tertinggal di atas meja. Naskah ketikan dibacakan dan langsung ditandatangani. Karena tidak dibuat salinan, hanya ada satu naskah ketikan Proklamasi.

Tanpa disadari, naskah asli tulisan tangan itu diamankan oleh Burhanuddin Muhammad Diah (BM Diah), wartawan muda berusia 28 tahun yang juga merupakan pendiri beberapa surat kabar seperti Merdeka, Asia Raya, dan Pedoman.

Dalam autobiografinya Butir-Butir Padi BM Diah (Pustaka Merdeka, 1992), ia menulis:
“Saya yang sejak awal berinsting wartawan, meski hadir sebagai wakil pemuda, ikut bersama Sayuti Melik ke ruangan lain. Saat Sayuti menyerahkan naskah ketikan kepada Bung Karno, saya simpan naskah tulisan tangan yang tergeletak di meja ke dalam saku. Saya tak menyangka naskah itu akan menjadi dokumen sejarah penting di kemudian hari.”

Sayuti Melik sendiri sempat mengira naskah tulisan tangan Soekarno sudah hilang, mungkin dibuang. Namun, belakangan ia mengetahui bahwa BM Diah menyelamatkan dokumen tersebut untuk kepentingan sejarah.