Administrasi mantan Presiden AS Donald Trump menggagas inisiatif perdamaian ambisius namun sarat kontroversi di kawasan timur Republik Demokratik Kongo (DRC), wilayah yang selama bertahun-tahun dilanda konflik dan turut menyeret keterlibatan Rwanda.
Langkah ini dianggap strategis oleh banyak pihak, mengingat DRC menyimpan cadangan mineral strategis yang sangat dibutuhkan AS dalam menghadapi dominasi Tiongkok di sektor teknologi dan energi baru seperti AI dan kendaraan listrik.
Trump disebut akan segera mengundang Presiden DRC Félix Tshisekedi dan Presiden Rwanda Paul Kagame ke Washington untuk menyepakati perjanjian damai, disertai kesepakatan investasi bernilai tinggi yang ia sebut sebagai “kemenangan gemilang.”
Prof. Alex de Waal, Direktur Eksekutif World Peace Foundation, menilai pendekatan Trump merupakan “model baru perdamaian” yang memadukan gaya populis dengan strategi dagang. Ia menambahkan bahwa model serupa pernah dicoba Trump di Ukraina.
“Trump ingin mendapatkan pengaruh politik sekaligus akses mineral strategis untuk industri AS,” ujar de Waal kepada BBC.
Namun, ia mengakui bahwa China sudah lebih dulu menguasai sebagian besar sumber daya mineral di DRC, sehingga AS kini berupaya mengejar ketertinggalan. Perusahaan-perusahaan AS selama ini enggan masuk karena masalah keamanan dan kekhawatiran atas isu “blood minerals.”
Langkah diplomatik ini, kata de Waal, bisa menjadi preseden di kawasan konflik lain seperti Sudan, di mana AS bersama sekutu Arab berupaya mengambil peran lebih besar setelah mediasi Afrika gagal.
Risiko Kedaulatan dan Model Investasi Jangka Panjang
Meski ada peluang perdamaian, sebagian pengamat memperingatkan risiko kehilangan kendali atas sumber daya. Prof. Hanri Mostert dari Universitas Cape Town menilai bahwa DRC bisa terikat kontrak jangka panjang demi janji keamanan yang belum jelas bentuknya.
“DRC bisa saja mengalami nasib serupa Angola, di mana infrastruktur dibangun China sebagai imbalan minyak, tetapi nilainya tidak sebanding dengan potensi yang dimiliki,” ujarnya.
Data dari Departemen Luar Negeri AS menunjukkan DRC memiliki potensi mineral senilai lebih dari $25 triliun, termasuk kobalt, litium, tembaga, mangan, dan tantalum — bahan baku utama industri elektronik dan militer.
“Berapa lama DRC harus menyerahkan kobaltnya ke investor AS? 20 tahun atau 50 tahun? Apa harga dari sebuah perdamaian?” tanya Mostert.
Perjanjian Damai dan Persaingan Pengaruh
Pada 27 Juni lalu, perwakilan dari DRC dan Rwanda menandatangani perjanjian awal di Washington. Trump menyatakan bahwa AS memperoleh hak atas sejumlah besar mineral dalam kesepakatan tersebut.
Perjanjian tersebut juga mencakup rencana integrasi ekonomi regional untuk menghentikan praktik penyelundupan mineral dari wilayah DRC yang dikuasai pemberontak M23 ke Rwanda.
Kelompok M23 diketahui menyelundupkan mineral dari wilayah yang mereka duduki ke Rwanda, yang kemudian dicampur dengan produksi lokal dan diekspor secara besar-besaran.
Sementara itu, Rwanda membantah keterlibatan dengan M23, meski PBB memiliki bukti keberadaan pasukan Rwanda di DRC.
Peneliti Bram Verelst dari Institute for Security Studies menyatakan bahwa mediasi AS berlangsung bersamaan dengan inisiatif Qatar yang lebih fokus pada konflik internal antara pemerintah DRC dan kelompok M23.
Koordinasi Keamanan dan Tantangan Implementasi
Perjanjian damai mencakup pembentukan mekanisme koordinasi keamanan dalam waktu 30 hari, serta rencana gencatan senjata pada akhir Juli. Pemerintah DRC juga diharapkan menandatangani kesepakatan damai menyeluruh dengan M23 paling lambat 18 Agustus.
Namun, analis dari International Crisis Group, Onesphore Sematumba, menekankan bahwa antara penandatanganan dan penerapan perdamaian masih terdapat banyak tantangan, termasuk soal penarikan pasukan Rwanda dan pembubaran milisi FDLR.
“Perbedaan penafsiran atas isi kesepakatan saja sudah menunjukkan betapa rumitnya proses ke depan,” ujarnya.
Prof. Mostert menegaskan bahwa perdamaian yang bertahan tidak cukup hanya dengan diplomasi. Dibutuhkan proses rekonsiliasi dan kesadaran atas trauma sejarah, termasuk eksploitasi sumber daya.
“Jika Trump benar-benar ingin perdamaian yang berkelanjutan, tekanan dan dukungan harus terus dijalankan, bahkan setelah kesepakatan ditandatangani,” pungkasnya.
