Penulis : Redaksi

Oleh: M Arjuna Pase

Di balik meja kayu itu, duduk seseorang yang kami sebut “ilmuwan”. Ia bergelar akademik tinggi, memiliki daftar publikasi yang panjang, dan suara lantangnya selalu didengar mahasiswa. Tapi sayangnya, kami tahu di balik tumpukan kertas dan silabus terselip harga yang harus kami bayar, bukan dengan otak, tapi dengan uang.

Fenomena pungutan liar di lingkungan kampus bukan isapan jempol. Ia hidup dan bernapas bersama sistem. Ironisnya, terkadang pelakunya justru mereka yang mengajar kami tentang etika, integritas, dan moralitas. “Kalau mau cepat urus nilai, ikut seminar ini, bayar sekian.” “Kalau tidak ikut study tour, siap-siap remedial.” Bahkan ada yang lebih vulgar: “Ada Uang Capek Untuk saya? Sukarelanya aja tanda menghargai saya,tapi biasa nya kawan² ngasih sekian²” dengan senyum yang penuh makna.

Lebih miris lagi, tidak ada mekanisme kontrol yang tegas dari pihak kampus. Seolah semua ini dianggap biasa. Tak terdengar ada sanksi. Tak ada sistem pelaporan yang aman dan serius ditindaklanjuti. Bahkan ketika mahasiswa ingin melapor, yang timbul justru rasa takut: takut dibalas dendam secara akademik, takut dimusuhi dosen, takut jadi korban sistem. Maka suara-suara kami hanya bergaung di grup tertutup, atau sesekali jadi bahan candaan getir di warung kopi sekitar kampus.

Apa yang terjadi pada ruang kuliah yang katanya suci? Dulu kami datang dengan semangat ingin menimba ilmu. Kini kami pulang dengan resah dan tanya: apakah kami sedang kuliah, atau sedang menjadi korban sistem yang dikomersialkan?

Pungli di dunia akademik tak selalu kasat mata. Ia berkamuflase dalam kegiatan yang “diwajibkan”, dalam proposal-proposal kegiatan yang ujungnya hanya memperkaya segelintir pihak, bahkan dalam “sumbangan sukarela” yang tak pernah benar-benar bisa ditolak.

Yang lebih menyedihkan, mahasiswa dipaksa tunduk dalam diam. Takut nilai dipersulit, takut nama dicoret, takut masa depan digantung. Maka, banyak dari kami memilih membayar ketimbang bicara. Tapi sampai kapan?

Kami tidak butuh dosen yang hanya pandai berbicara di seminar antikorupsi tapi diam ketika rekan sejawatnya menjual nilai. Kami tidak butuh kampus yang membanggakan akreditasi tapi membiarkan praktik kotor merajalela. Dan kami tidak butuh sistem pendidikan yang melahirkan sarjana yang terbiasa menyuap sejak mahasiswa.

Kami tidak membenci dosen. Justru karena kami menghormati, kami ingin mereka menjadi teladan. Kami juga tidak sedang menggeneralisasi. Masih banyak dosen baik, lurus, yang mengajar dengan hati. Tapi mereka yang baik itu pun akhirnya tergerus citranya oleh kelakuan oknum-oknum yang tak malu menjual ilmu.

Penulis, M Arjuna Pase.

Ini bukan sekadar persoalan uang. Ini soal hancurnya kepercayaan terhadap institusi pendidikan, soal rusaknya mental generasi muda yang dipaksa terbiasa dengan “uang pelicin”, sejak masih menjadi pencari ilmu.

Kampus bukan hanya tempat kami menuntut gelar, tapi tempat kami menggantungkan harapan. Kami ingin menjadi sarjana yang cerdas, jujur, dan beretika. Tapi bagaimana itu bisa terjadi jika sejak awal, kami sudah diajari untuk menyuap demi nilai? Di mana letak marwah kampus jika praktik semacam ini terus dibiarkan?

Kampus seharusnya menjadi ruang pembebasan, bukan pasar nilai. Ilmu tidak semestinya diperjualbelikan, dan mahasiswa bukan ladang untuk diperah. Kami menulis ini bukan karena benci, tapi karena peduli. Karena jika suara-suara kecil seperti kami terus dibungkam, maka suatu saat, pendidikan akan menjadi barang dagangan, dan integritas tinggal cerita dalam buku Etika Profesi.

Pihak rektorat dan birokrasi kampus seharusnya tidak tingal diam. Jangan tutup mata. Jangan hanya fokus pada akreditasi dan laporan administratif, sementara moral kampus sedang luka. Buatlah sistem pengawasan yang transparan, ruang pengaduan yang aman, dan sanksi yang tegas. Jika tidak, maka akan lahir generasi yang lulus secara akademik, tapi bangkrut secara etika.

Perjuangkan kampus ini kembali jadi ruang suci pencarian ilmu,atau diam dan biarkan kampus menjadi pasar gelap nilai. Karena jika ilmu sudah diperjualbelikan, maka apa bedanya pendidikan dengan pasar malam?