Penulis : Redaksi

Tidak bisa dimungkiri bahwa jalur politik adalah jalur paling strategis untuk berkuasa, sekaligus jalur yang paling rawan menjadi lahan subur bagi praktik korupsi dan gratifikasi. Dalam demokrasi, politik adalah instrumen utama untuk menentukan arah kebijakan, mengelola sumber daya publik, dan memutuskan siapa mendapatkan apa. Namun justru karena kekuasaan yang begitu besar ini, godaan untuk menyalahgunakannya pun sangat besar.

Salah satu tantangan terbesar dalam memberantas korupsi di Indonesia, bahkan di banyak negara lain, adalah karena sumber korupsi itu sendiri seringkali berada pada jalur politik. Politik yang seharusnya menjadi panggilan pengabdian untuk kepentingan rakyat, sering kali berubah menjadi jalan mencari kekayaan pribadi dan kelompok.

Politik: Jalan Mulus ke Korupsi dan Gratifikasi

Fenomena ini bermula dari biaya politik yang tinggi. Untuk mendapatkan kursi di parlemen atau memenangkan pilkada, para calon harus mengeluarkan biaya sangat besar: mulai dari logistik kampanye, “operasi” massa, hingga “uang pelicin” untuk mendapatkan dukungan dari para pemilik suara strategis.

Karena biaya yang dikeluarkan terlalu besar, banyak politikus merasa harus mengembalikan modal bahkan mencari untung setelah terpilih. Di sinilah praktik korupsi dimulai: proyek-proyek pemerintah dimark-up, dana hibah disunat, fee dari pengusaha dibagi-bagi, hingga jual beli jabatan terjadi.

Lebih jauh lagi, gratifikasi juga berkembang menjadi budaya yang dianggap wajar di dunia politik. Banyak pejabat menganggap pemberian hadiah, fasilitas, dan “uang terima kasih” dari pengusaha atau bawahannya adalah hal biasa, padahal jelas dilarang oleh undang-undang.

Dengan kata lain, politik menyediakan tiga faktor penting yang menjadikannya jalur utama korupsi dan gratifikasi: kekuasaan, akses ke anggaran publik, dan celah pengawasan yang lemah.

Kenapa Sulit Diberantas?

Lantas, mengapa korupsi politik begitu sulit diberantas? Ada beberapa penyebab:

  1. Lingkaran Setan Kekuasaan
    Pejabat yang korup sering kali justru memiliki jejaring yang kuat di legislatif, eksekutif, bahkan aparat penegak hukum. Karena banyak yang terlibat, mereka cenderung saling melindungi.

  2. Norma Sosial yang Rusak
    Di banyak daerah, masyarakat sendiri masih permisif terhadap korupsi. Bahkan ada yang beranggapan “wajar kalau pejabat cari untung, toh mereka sudah keluar biaya banyak waktu pemilu.”

  3. Lemahnya Penegakan Hukum
    Kasus besar sering kali mandek karena intervensi politik. Aparat penegak hukum sering tidak independen atau bahkan ikut bermain dalam skema korupsi.

  4. Sanksi yang Tidak Efektif
    Hukuman yang ringan, peluang remisi besar, hingga masih adanya fasilitas mewah bagi koruptor di penjara juga tidak memberi efek jera.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Untuk memutus mata rantai ini, diperlukan reformasi menyeluruh, mulai dari pembiayaan politik yang transparan dan akuntabel, memperkuat pengawasan publik, hingga memperketat sanksi hukum. Pendidikan politik bagi masyarakat juga penting, agar tidak mudah terjebak politik uang.

Kesadaran bahwa kekuasaan bukanlah sarana mencari keuntungan pribadi, melainkan amanah untuk melayani rakyat, harus ditanamkan sejak awal pada setiap calon pemimpin.

Penutup

Jalur politik memang sangat penting untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Namun selama politik masih dipandang sebagai “ladang basah,” selama itu pula korupsi dan gratifikasi akan sulit dihapuskan. Jalur politik yang bersih hanya bisa terwujud jika ada kemauan kuat dari pemimpin, komitmen rakyat untuk memilih pemimpin yang jujur, dan sistem hukum yang tegas tanpa pandang bulu.

Seperti kata pepatah, “kekuasaan itu ujian,” dan ujian terbesar bagi seorang politikus adalah apakah ia mampu menjaga integritas ketika berada di puncak kekuasaan.