SERPONG – Fenomena “rombongan jarang beli” (rojali) dan “rombongan hanya nanya” (rohana) kini makin sering terlihat di pusat perbelanjaan. Banyak pengunjung datang ke mal hanya sekadar berjalan-jalan atau menikmati suasana, namun enggan melakukan pembelian. Di sisi lain, tren belanja online tetap menjadi pilihan utama bagi banyak masyarakat. Nongkrong di kafe dan restoran justru menjadi aktivitas yang paling diminati di area pusat perbelanjaan.
Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani menyebut bahwa daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah terus mengalami penurunan. Hal ini menyebabkan jumlah pembeli di mal makin berkurang, meskipun jumlah pengunjung masih terlihat cukup ramai.
“Perilaku konsumen kini berubah, banyak yang lebih memilih membeli kebutuhan secara online melalui e-commerce. Dampaknya, penjualan offline di mal ikut tertekan,” ujar Hariyadi dikutip dari Tangselpos.id, Minggu (27/7/2025).
Sebagai pelaku usaha di sektor pariwisata dan hiburan, Hariyadi yang juga menjabat Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Apindo, mengatakan bahwa fenomena rojali mencerminkan perubahan pola konsumsi masyarakat, khususnya di ruang publik seperti mal.
Menurutnya, belanja di pusat perbelanjaan kini lebih banyak diarahkan pada sektor makanan dan minuman.
“Mal kini lebih berfungsi sebagai tempat rekreasi. Pembelian paling tinggi terjadi di sektor F&B seperti restoran dan kafe. Di luar itu, trennya justru menurun,” tambahnya.
Senada dengan Hariyadi, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono menyampaikan bahwa fenomena rojali juga mencerminkan tekanan ekonomi yang dirasakan sebagian kelompok rumah tangga.
“Fenomena rojali memang tidak selalu berarti masyarakat miskin, tapi bisa menjadi gejala sosial. Bisa jadi hanya sekadar refreshing, namun juga bisa akibat tekanan ekonomi terutama bagi kelompok rentan,” jelas Ateng di Jakarta, Jumat (25/7/2025).
Dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025, BPS menemukan bahwa bahkan kelompok masyarakat kelas atas pun mulai menahan konsumsi. Meski demikian, klasifikasi dampak fenomena ini terhadap kelas sosial belum dipetakan secara detail.
Ateng menilai, gejala ini perlu menjadi perhatian bagi pemerintah, karena menurunnya konsumsi rumah tangga dapat mengganggu stabilitas perekonomian nasional.
“Rojali adalah sinyal penting bagi pembuat kebijakan. Fokus tak hanya pada penurunan kemiskinan, tetapi juga memperhatikan daya tahan konsumsi masyarakat kelas menengah bawah,” tuturnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto turut menanggapi fenomena rojali dan rohana yang marak di pusat perbelanjaan.
Menurut Airlangga, perilaku tersebut mencerminkan tren konsumen saat ini. Ia mengakui bahwa mayoritas pengunjung mal lebih tertarik datang untuk sekadar makan atau jalan-jalan dibanding belanja barang.
“Sekarang memang trennya ke mal untuk makan. Karena itu banyak mal kini memperbanyak sektor kuliner dan mencoba meningkatkan transaksi melalui penyelenggaraan event,” kata Airlangga kepada wartawan di Kantor Kemenko Perekonomian, Jumat (25/7/2025).
Ia juga menjelaskan bahwa tren konsumsi turut dipengaruhi oleh momentum yang terlalu berdekatan, seperti Lebaran dan Natal-Tahun Baru (Nataru). Hal ini membuat pengeluaran rumah tangga menurun setelahnya.
“Event besar kemarin seperti Lebaran dan Nataru terlalu dekat jaraknya. Maka dari itu, kami selipkan program liburan di tahun ajaran baru ini agar konsumsi kembali terdorong,” ujarnya.
Airlangga menegaskan, pemerintah sedang mempersiapkan berbagai program baru seperti diskon dan kegiatan liburan akhir tahun guna merangsang konsumsi masyarakat menjelang Nataru 2025.
