Jakarta — Isu pengibaran bendera Aceh kembali mencuat bersamaan dengan kepemilikan 4 pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara menjadi polemik beberapa waktu terakhir.
Bendera bulan bintang itu berkibar pada aksi damai di halaman Kantor Gubernur Aceh mendesak Kemendagri soal 4 pulau yang sempat diputuskan Mendagri Tito Karnavian lewat Kepmendagri sebagai wilayah Sumut pada Senin (16/6) lalu.
Persoalan pulau itu kini sudah selesai setelah Presiden Prabowo Subianto memutuskan itu menjadi wilayah Aceh berdasarkan dokumen kesepakatan pada 1992.
Usai keputusan itu disampaikan pada Selasa (17/6), Gubernur Aceh yang juga eks Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Muzakir Manaf menyatakan legalitas pengibaran bendera Aceh itu kini dalam proses dan berharap secepatnya mendapatkan izin berkibar.
“Dalam proses, Insya Allah secepat mungkin,” kata pria yang juga dikenal dengan sapaan Mualem itu di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (17/6).
Pernyataan serupa juga disampaikan Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud Al Haytar yang menyatakan masyarakat Aceh menaruh harapan ke pemerintah pusat untuk segera mengizinkan pengibaran bendera Aceh.
Ia menegaskan rakyat Aceh telah lama menunggu kepastian pengesahan bendera itu sebagai simbol daerah Aceh.
“Ya, bagi orang-orang Aceh itu diharapkan bahwa bendera itu disahkan. Kami menunggu saja,” ujar Malik Mahmud saat berada di rumah Wapres ke-10 dan 12 RI Jusuf Kalla (JK) di Jakarta, Selasa malam itu.
Diketahui, pengibaran bendera Aceh secara resmi masih dilarang Kemendagri. Walaupun demikian, termasuk dalam aksi saat polemik sengketa pulau Aceh dan Sumut beberapa waktu lalu, bendera itu dikibarkan massa aksi di depan kantor Gubernur Aceh.
Mengapa susah sekali mengibarkan bendera Aceh itu, padahal aturan yang menyebutnya sebagai simbol daerah itu ada diatur dalam UU tentang Pemerintah Aceh dan Qanun atau Perda Aceh.
Trauma yang belum selesai
Pakar politik lokal dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Titin Purwaningsih berpandangan permasalahan ini jadi berlarut karena masih adanya trauma sejarah yang belum selesai penuh.
Padahal, dia berpandangan Qanun 3/2013 yang salah satu isinya mengatur tentang Bendera Aceh itu sepatutnya tidak dipandang sebagai ancaman atas keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Bendera sebagai simbol keistimewaan Aceh seharusnya tidak dianggap sebagai ancaman terhadap persatuan,” kata Titin dalam keterangannya dikutip Kamis (19/6).
Titin juga mengatakan dinamika hubungan pemerintah pusat dan daerah turut menjadi faktor mandeknya implementasi Qanun Bendera Aceh.
Ia berpandangan isu ini masih diwarnai dengan tarik menarik antara aspirasi daerah dan kekhawatiran pemerintah pusat yang akhirnya menciptakan kebuntuan.
“Pemerintah pusat seringkali memberikan ruang kepada daerah untuk menjalankan otonomi khusus, namun pada saat yang sama muncul kekhawatiran terhadap simbol-simbol identitas lokal yang dianggap berpotensi memicu separatisme,” ujarnya.
Urgensi ruang dialog terbuka
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesian Governance and Development Policy, Cusdiawan berpendapat tuntutan pengibaran bendera Aceh ini seharusnya tak menjadi masalah serius.
Ia menyatakan Aceh memang memiliki latar belakang historis dengan berbagai dinamikanya sendiri dalam konteks hubungannya dengan pemerintah pusat.
“Ada trauma dan luka historis. Jadi saya menganggap tuntutan bendera hanya bagian dari upaya mereka untuk memperjuangkan politik rekognisi atau pengakuan hak-hak kultural, dan bendera adalah salah satu simbol di dalamnya,” kata Cusdiawan.
Ia menduga mandeknya permasalahan it berangkat dari kekhawatiran sejumlah pihak yang menilai pengibaran bendera Aceh dapat membangkitkan pergolakan.
“Kemungkinan juga, kekhawatiran itu muncul juga di kalangan militer, mengingat militer lah di masa lalu yang terlibat konflik dengan gerakan seperti GAM. Jadi dari sisi militer ada ‘kekhawatiran sejarah’ juga,” ujar dia.
Ia menegaskan bahwa kepastian pengibaran bendera Aceh oleh pemerintah pusat itu justru dapat membuat masyarakat Aceh lebih merasa dihargai sebagai bagian dari NKRI.
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang itu berpendapat hal itu bahkan tidak hanya mengantisipasi potensi konflik antara masyarakat Aceh dengan pemerintah pusat di masa mendatang, namun sekaligus bisa membuat hubungan Aceh dengan pemerintah pusat kian harmonis.
“Sebab itu, seharusnya dibuka ruang dialog dan komunikasi yang lebih luas antara pihak Aceh dan pemerintah pusat untuk membangun sikap saling pengertian, sehingga bisa meminimalisasi kecurigaan dan kesalahpahaman,” ujarnya.
Bendera Aceh dan PP 77/2007
Pengamat politik dari Universitas Malikussaleh (Unmal), Lhokseumawe, Teuku Kemal Fasya mengingatkan keberadaan Peraturan Pemerintah 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah.
Ia mengingatkan Pasal 6 ayat 4 PP 77/2007 itu menyatakan desain logo dan bendera daerah tak boleh mempunyai persamaan dengan desain logo dan bendera organisasi gerakan separatis.
“Misalnya logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Aceh,” demikian dia membicarakan bunyi penggalan penjelasan pasal tersebut saat berbincang dengan .com.
Teuku pun menyatakan keberadaan Qanun 3/2013 bukan berarti bendera bulan bintang itu telah disepakati sebagai bendera Aceh.
Ia mengakui bahwa hal ini menjadi diskusi yang panjang selama ini, dimulai sejak pemerintahan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Sudah sampai pada kesimpulan bahwa kasus bendera yang menyerupakan bendera GAM itu, itu belum disahkan sebagai bendera Aceh,” kata Teuku yang juga Dosen Antropologi di Fisipol Unmal itu.
Ia berpendapat akar dari polemik ini ialah lambang di bendera itu yang menyerupai lambang GAM.
Teuku juga berpendapat bahwa perihal ini sebetulnya menyulut permasalahan baru di Aceh.
Ia menyebut ada satu daerah di Aceh yang menyuarakan aspirasinya dengan menyatakan jika bendera itu disahkan menjadi bendera Aceh, maka mereka meminta pisah dari Provinsi Aceh.
“Karena itu bendera dan lambang yang menyerupai lambang bendera dan lambang gerakan Aceh Merdeka, itu sudah menyulut friksi di Aceh, salah satunya dalam sebuah daerah. Daerah tengah itu meminta, kalau itu disusulkan, mereka minta merdeka aja lah, atau pisah dari provinsi Aceh,” ujar dia.
Teuku juga menyebut bahwa simbol bulan sabit di bendera tersebut jauh dari sejarah Aceh.
“Jadi pola yang dibuat ini adalah melakukan penandaan, atau semiotika yang berhubungan dengan gerakan Aceh Merdeka dan Partai Aceh, bagaimana dia bisa dijadikan sebagai representasi untuk bendera maupun politik Aceh,” ucapnya.
Baca halaman selanjutnya…
Bendera Aceh menjadi salah satu kesepakatan yang tertuang dalam Perjanjian Helsinki pada 2005 silam. Hal itu termaktub pada Poin 1.1.5 Perjanjian Helsinki yang disepakati antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Poin itu pada pokoknya mengatur bahwa Aceh memiliki hak menggunakan simbol-simbol wilayah, termasuk bendera, lambang, dan himne.
Setelahnya perihal simbol itu diatur dalam UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Perihal bendera Aceh diatur pada Pasal 246.
Pasal 246 ayat 2 menyatakan Pemerintah Aceh dapat menetapkan bendera daerah Aceh sebagai simbol keistimewaan dan kekhususan mereka.
“Selain Bendera Merah Putih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan,” bunyi pasal tersebut.
Pasal 246 ayat 3 menegaskan bendera daerah Aceh itu bukan merupakan simbol kedaulatan dan tak berlaku sebagai bendera kedaulatan di Aceh.
Selanjutnya, ketentuan lebih lanjut perihal bentuk bendera itu pun diatur lewat Qanun Aceh sebagai peraturan di bawah undang-undang.
Tujuh tahun berselang setelah UU PA 11/2006 disahkan, tepatnya pada 2013, Pemerintah Aceh mengeluarkan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh.
Dalam poin menimbang Qanun itu, Pemerintah Aceh menyatakan perihal bendera dan lambang Aceh ini merupakan kesepakatan yang termaktub dalam dokumen Helsinki dan UU 1/2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Pasal 1 ayat 11 Qanun itu menyatakan Bendera Aceh merupakan salah satu simbol pemersatu masyarakat Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan Aceh.
Qanun ini juga mengatur secara rinci pengibaran bendera Aceh. Pasal 6 ayat 1 menyatakan pengibaran bendera Acceh dilakukan pada Pukul 07.00 hingga 18.00 WIB. Namun, dalam keadaan tertentu pengibaran dapat dilakukan di malam hari.
“Bendera Aceh wajib dikibarkan pada setiap Peringatan Hari Besar Aceh (PHBA) atau peringatan hari bersejarah lainnya di samping Bendera Merah Putih,” bunyi Pasal 6 ayat 3 pada Qanun tersebut.
Pasal 7 pun mengatur rinci di mana saja bendera Aceh dapat dikibarkan, mulai dari Istana Wali Nanggroe Aceh, kantor Gubernur Aceh, hingga pos perbatasan dan pulau terluar di wilayah Aceh.
Pasal 9 Qanun 3/2013 itu menyatakan pengibaran bendera Aceh sebagai tanda perdamaian dan/atau tanda berkabung.
Adapun pengibaran bendera Aceh ini dilakukan di samping kiri bendera Merah Putih dengan ukuran tak lebih tinggi dari sang saka Merah Putih.
“Bendera Aceh dikibarkan dan/atau dipasang pada tiang yang tingginya tidak lebih tinggi dari Bendera Merah Putih,” bunyi Pasal 10.
[Gambas:Photo CNN]
Namun di sisi lain, ada juga Peraturan Pemerintah 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Pasal 6 ayat 4 PP 77/2007 itu menyatakan desain logo dan bendera daerah tak boleh mempunyai persamaan dengan desain logo dan bendera organisasi gerakan separatis.
“Misalnya logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Aceh,” bunyi penggalan penjelasan pasal tersebut.
Berlandaskan seluruh dasar hukum tersebut, hingga kini legalitas bendera Bulan Bintang Aceh masih dalam posisi ketidakpastian dari pemerintah pusat.
Pengibaran bendera itu masih dilarang Kemendagri. Mendagri periode 2009-2014, Gamawan Fauzi menolak pengesahan dan meminta Pemerintah Aceh merevisi Qanun 3/2013.
Sejarah bendera Aceh dan aturan di tingkat pusat
