Penulis : Redaksi

Teuku juga menyebut bahwa simbol bulan sabit di bendera tersebut jauh dari sejarah Aceh.

“Jadi pola yang dibuat ini adalah melakukan penandaan, atau semiotika yang berhubungan dengan gerakan Aceh Merdeka dan Partai Aceh, bagaimana dia bisa dijadikan sebagai representasi untuk bendera maupun politik Aceh,” ucapnya.

Baca halaman selanjutnya…

Bendera Aceh menjadi salah satu kesepakatan yang tertuang dalam Perjanjian Helsinki pada 2005 silam. Hal itu termaktub pada Poin 1.1.5 Perjanjian Helsinki yang disepakati antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Poin itu pada pokoknya mengatur bahwa Aceh memiliki hak menggunakan simbol-simbol wilayah, termasuk bendera, lambang, dan himne.

Setelahnya perihal simbol itu diatur dalam UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Perihal bendera Aceh diatur pada Pasal 246.

Pasal 246 ayat 2 menyatakan Pemerintah Aceh dapat menetapkan bendera daerah Aceh sebagai simbol keistimewaan dan kekhususan mereka.

“Selain Bendera Merah Putih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan,” bunyi pasal tersebut.

Pasal 246 ayat 3 menegaskan bendera daerah Aceh itu bukan merupakan simbol kedaulatan dan tak berlaku sebagai bendera kedaulatan di Aceh.

Selanjutnya, ketentuan lebih lanjut perihal bentuk bendera itu pun diatur lewat Qanun Aceh sebagai peraturan di bawah undang-undang.

Tujuh tahun berselang setelah UU PA 11/2006 disahkan, tepatnya pada 2013, Pemerintah Aceh mengeluarkan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh.

Dalam poin menimbang Qanun itu, Pemerintah Aceh menyatakan perihal bendera dan lambang Aceh ini merupakan kesepakatan yang termaktub dalam dokumen Helsinki dan UU 1/2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Pasal 1 ayat 11 Qanun itu menyatakan Bendera Aceh merupakan salah satu simbol pemersatu masyarakat Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan Aceh.