Padahal, dia berpandangan Qanun 3/2013 yang salah satu isinya mengatur tentang Bendera Aceh itu sepatutnya tidak dipandang sebagai ancaman atas keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Bendera sebagai simbol keistimewaan Aceh seharusnya tidak dianggap sebagai ancaman terhadap persatuan,” kata Titin dalam keterangannya dikutip Kamis (19/6).
Titin juga mengatakan dinamika hubungan pemerintah pusat dan daerah turut menjadi faktor mandeknya implementasi Qanun Bendera Aceh.
Ia berpandangan isu ini masih diwarnai dengan tarik menarik antara aspirasi daerah dan kekhawatiran pemerintah pusat yang akhirnya menciptakan kebuntuan.
“Pemerintah pusat seringkali memberikan ruang kepada daerah untuk menjalankan otonomi khusus, namun pada saat yang sama muncul kekhawatiran terhadap simbol-simbol identitas lokal yang dianggap berpotensi memicu separatisme,” ujarnya.
Urgensi ruang dialog terbuka
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesian Governance and Development Policy, Cusdiawan berpendapat tuntutan pengibaran bendera Aceh ini seharusnya tak menjadi masalah serius.
Ia menyatakan Aceh memang memiliki latar belakang historis dengan berbagai dinamikanya sendiri dalam konteks hubungannya dengan pemerintah pusat.
“Ada trauma dan luka historis. Jadi saya menganggap tuntutan bendera hanya bagian dari upaya mereka untuk memperjuangkan politik rekognisi atau pengakuan hak-hak kultural, dan bendera adalah salah satu simbol di dalamnya,” kata Cusdiawan.
Ia menduga mandeknya permasalahan it berangkat dari kekhawatiran sejumlah pihak yang menilai pengibaran bendera Aceh dapat membangkitkan pergolakan.
“Kemungkinan juga, kekhawatiran itu muncul juga di kalangan militer, mengingat militer lah di masa lalu yang terlibat konflik dengan gerakan seperti GAM. Jadi dari sisi militer ada ‘kekhawatiran sejarah’ juga,” ujar dia.
Ia menegaskan bahwa kepastian pengibaran bendera Aceh oleh pemerintah pusat itu justru dapat membuat masyarakat Aceh lebih merasa dihargai sebagai bagian dari NKRI.
