Penulis : Redaksi

“Kondisi ini umum terjadi pada wilayah Indonesia dekat khatulistiwa hingga bagian utara. Pada wilayah ini, meski pagi hari cenderung lebih dingin namun pada siang hari udara akan terasa lebih panas,” jelas BMKG.

“Hal ini karena ketiadaan awan dan juga kurangnya uap air saat musim kemarau menyebabkan radiasi langsung matahari akan lebih banyak pula yang mencapai permukaan bumi,” lanjutnya.

Sementara itu, wilayah selatan Indonesia seperti Sumatera Selatan, Jawa Bagian Selatan hingga Bali, NTT dan NTB pada siang hari suhu udara juga akan lebih rendah dari suhu udara periode bulan lainnya.

Fenomena ini disebut cukup terasa pada bulan Juli di mana pada periode tersebut angin timuran atau monsun Australia yang kering mengalir melewati wilayah-wilayah tersebut.

“Pada bulan Juli juga merupakan puncak musim dingin Australia sehingga udara dinginnya mengintrusi masuk wilayah Jawa Bagian Selatan hingga Bali, NTT dan NTB,” tutur BMKG.

Alhasil, meskipun saat musim kemarau matahari bersinar terang tanpa hambatan awan pada siang hari, tetapi udara dingin dari aliran monsun Australia lebih dominan memengaruhi penurunan suhu udara pada siang hari tersebut.

Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto mengatakan, fenomena bediding bisa saja sudah dialami sejumlah warga di daerah tertentu. Namun, secara tanda-tanda dan catatan suhu, belum menunjukkan terjadinya fenomena tersebut.

“Fenomena bediding itu sebenarnya kan perubahan suhu yang ekstrem. Ditandai suhu udara dingin menjelang malam sampai pagi hari, lalu pada siang hari melonjak panas lagi,” kata Guswanto, melansir CNBC.

“BIasanya terjadi di akhir Mei, awal Juni, Juli dan Agustus,” imbuhnya.