Penulis : Redaksi

Hal ini menunjukkan tren pengurangan curah hujan mulai dirasakan di sebagian besar wilayah Indonesia, meskipun secara spasial belum merata.

Dwikorita menjelaskan bahwa wilayah Sumatera dan Kalimanta justru telah mengalami beberapa dasarian berturut-turut dengan curah hujan yang lebih rendah dari normal, sehingga indikasi awal musim kemarau lebih cepat terlihat di wilayah tersebut dibanding wilayah selatan Indonesia.

Sebaliknya, pada April hingga Mei lalu, beberapa wilayah di Indonesia bagian selatan mengalami kondisi curah hujan Atas Normal, termasuk Sumatera Selatan, Jawa, Bali, NTB, NTT, sebagian kecil Kalimantan, sebagian wilayah Sulawesi, dan Papua bagian selatan.

Pola ini menunjukkan bahwa transisi musim kemarau tidak berlangsung seragam di seluruh Indonesia.

Lebih singkat

Berdasarkan prediksi cuaca bulanan terbaru, BMKG memperkirakan bahwa kondisi curah hujan dengan kategori Atas Normal masih akan berlanjut di sebagian wilayah hingga bulan Oktober 2025.

Oleh karena itu, BMKG kembali menyatakan musim kemarau tahun 2025 cenderung akan memiliki durasi yang lebih pendek dibandingkan dengan normalnya dengan sifat hujan diatas normal.

Lebih lanjut, Dwikorita mengatakan kondisi curah hujan yang tetap tinggi selama periode kemarau membawa dua sisi konsekuensi yang harus dipahami dan disikapi secara tepat.

Di satu sisi, keberadaan hujan selama musim kemarau dapat menjadi berkah bagi para petani padi, karena pasokan air irigasi relatif tetap tersedia. Ini dapat mendukung kelangsungan masa tanam dan produksi pertanian.

Di sisi lain, peningkatan curah hujan di musim kemarau juga menimbulkan risiko terhadap pertanian hortikultura, yang pada umumnya lebih sensitif terhadap kondisi kelembapan tinggi. Tanaman hortikultura seperti cabai, bawang, dan tomat sangat rentan terhadap serangan hama dan penyakit akibat kelembaban berlebih.

“Kami mendorong petani hortikultura untuk mengantisipasi kondisi ini dengan menyiapkan sistem drainase yang baik dan perlindungan tanaman yang memadai,” katanya.