Jakarta — Kementerian Perdagangan (Kemendag) menilai banyak pihak tak senang melihat kemajuan perdagangan Indonesia di kancah global.
Kepala Pusat Kebijakan Perdagangan Internasional Badan Kebijakan Perdagangan Kemendag Olvy Andrianita menegaskan Indonesia sebelumnya berdarah-darah sendiri.
Namun, dunia tak senang ketika Indonesia sudah mulai memperlihatkan kemajuan.
“Kalau kita lihat kiprah di pasar global, rasanya perdagangannya sudah cukup membaik. Surplus dengan banyak negara, bahkan membuat Bapak Trump marah, kan?” ujar Olvy dalam Peluncuran Laporan Perdagangan dan Investasi Berkelanjutan 2025 di Auditorium CSIS, Jakarta Pusat, Jumat (20/6).
“Jadi, rasanya agak lucu juga ya. Dulu kita suffering, enggak ada orang yang bantu. Sekarang kita rada bagus sedikit, orang marah semua, seluruh dunia marah, termasuk Bapak Presiden Trump,” sindirnya.
Ia menilai sebenarnya sah-sah saja sebuah negara menerapkan kebijakan proteksionisme. Olvy sepakat dengan niat menjaga aspek penting, seperti lingkungan, konsumen, sampai keberlangsungan industri dalam negeri.
Oleh karena itu, Olvy menilai Pemerintah Indonesia juga mesti menerapkan tindakan serupa. Ia mendorong upaya untuk terus menjaga market hingga industri tanah air, salah satunya dengan penerapan tarif.
Tarif memang menjadi opsi dalam urusan perdagangan global. Namun, ia beranggapan ada sejumlah aspek lain yang mesti diperhatikan. Olvy menyinggung dua hal penting, yakni keterkaitan trade dan sustainability.
“Ini adalah kondisi-kondisi yang sangat rumit dan tidak mudah, challenge-nya tidak kalah sulit. Jadi, trade and sustainable ini menjadi salah satu instrumen ataupun boleh dibilang measures. Negara-negara Afrika lebih struggle rasanya dibanding Indonesia. Kita juga tidak baik-baik saja, tapi mereka less behind,” tuturnya.
Di lain sisi, Kemendag menuntut seluruh negara patuh terhadap regulasi internasional. Anak buah Menteri Perdagangan Budi Santoso itu menekankan pentingnya sikap adil dari negara-negara lain.
Ia kemudian menyinggung perlakuan tidak adil dari negara-negara Barat terhadap sawit Indonesia. Uni Eropa Cs menganggap Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) tak keren karena cuma standar lokal.
