Saat ditangkap, Khalil masih berstatus mahasiswa pascasarjana di Columbia University dan merupakan tokoh utama dalam demonstrasi nasional menentang serangan Israel di Gaza.
Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio memanfaatkan undang-undang era “Red Scare” tahun 1950-an untuk mendeportasi warga asing yang dianggap bertentangan dengan kebijakan luar negeri AS.
Rubio bahkan berargumen bahwa perlindungan kebebasan berbicara dalam Konstitusi AS tidak berlaku bagi warga negara asing dan bahwa ia dapat mengambil keputusan sendiri tanpa campur tangan pengadilan.
Ratusan mahasiswa dilaporkan telah kehilangan visa mereka, sebagian hanya karena menulis opini atau memiliki catatan penangkapan ringan.
Namun, pekan lalu, Hakim Farbiarz memutuskan bahwa pemerintah tidak dapat menahan atau mendeportasi Khalil semata-mata berdasarkan klaim Rubio bahwa keberadaannya di AS mengancam keamanan nasional.
Pemerintah juga berusaha membatalkan status tinggal tetap Khalil dengan alasan adanya ketidaksesuaian dalam aplikasi imigrasinya. Namun argumen ini ditolak oleh pengadilan.
Amol Sinha, Direktur Eksekutif American Civil Liberties Union (ACLU) New Jersey, salah satu organisasi yang mendampingi Khalil menyambut keputusan pembebasan tersebut.
“Ini adalah langkah penting dalam membela hak-hak Tuan Khalil, yang terus menjadi target tidak sah pemerintah federal karena advokasinya membela hak-hak rakyat Palestina,” kata Sinha.
Khalil adalah penduduk tetap sah di Amerika Serikat yang menikah dengan warga negara AS dan memiliki seorang anak yang lahir di AS.
Pemerintahan Trump menuding bahwa protes pro-Palestina di kampus-kampus, termasuk di Columbia, telah mencakup dukungan terhadap Hamas dan pelecehan antisemit terhadap mahasiswa Yahudi.
(tst/dal)
