Penulis : Redaksi

Jakarta — Mahmoud Khalil, mantan mahasiswa Columbia University yang dikenal sebagai salah satu pemimpin paling vokal dalam demonstrasi pro-Palestina di kampus-kampus Amerika Serikat (AS), dibebaskan dari pusat penahanan federal pada Jumat (21/6) waktu setempat.

Agen-agen Departemen Keamanan Dalam Negeri AS memborgol Khalil Sabtu, 8 Maret 2025 lalu di lobi gedung apartemen milik universitas di Manhattan.

Pemerintahan Donald Trump lalu memindahkan Khalil dari penjara Imigrasi dan Bea Cukai AS di Elizabeth, New Jersey, dekat Manhattan, ke sebuah penjara di pedesaan Jena, Louisiana, yang jaraknya sekitar 2.000 km.

Kasus Khalil telah menjadi salah satu janji Trump untuk mendeportasi beberapa aktivis yang berpartisipasi dalam gelombang protes di kampus-kampus AS menentang serangan militer Israel ke Gaza setelah serangan Hamas pada Oktober 2023.

“Ini seharusnya tidak memakan waktu tiga bulan,” ujar Khalil sambil mengenakan syal keffiyeh khas Palestina kepada media AS di luar pusat detensi imigrasi di Jena, Louisiana, mengutip AFP.

“Trump dan pemerintahannya memilih orang yang salah untuk ini. Tidak ada orang yang pantas ditahan hanya karena memprotes genosida,” tambahnya.

Namun, Kementerian Keamanan Dalam Negeri AS mengkritik putusan Hakim Distrik Michael Farbiarz dan menyebutnya sebagai contoh bagaimana ‘anggota lembaga peradilan yang tak terkendali merusak keamanan nasional’.

Berdasarkan ketentuan pembebasannya, Khalil tidak diizinkan meninggalkan wilayah Amerika Serikat kecuali untuk ‘deportasi sukarela’, dan juga menghadapi pembatasan wilayah perjalanan di dalam negeri.

Noor Abdalla, istri Khalil yang merupakan seorang dokter gigi asal Michigan, menyambut baik keputusan pembebasan suaminya.

“Akhirnya keluarga kami bisa bernapas lega dan tahu bahwa Mahmoud sedang dalam perjalanan pulang,” katanya.

Namun, ia juga menegaskan bahwa keputusan tersebut belum menyentuh akar persoalan.

“Kami tahu putusan ini tidak cukup untuk menjawab ketidakadilan yang telah dibawa pemerintahan Trump kepada keluarga kami, dan begitu banyak keluarga lain yang dibungkam karena bersuara menentang genosida yang terus berlangsung terhadap rakyat Palestina,” kata Abdalla, yang melahirkan anak pertama mereka saat Khalil masih ditahan.