Penulis : Redaksi

Jakarta — Presiden Amerika Serikat Donald Trump mendapat kecaman dari Kongres termasuk dari partainya sendiri, Republik, setelah memerintahkan serangan udara ke tiga fasilitas nuklir utama Iran akhir pekan lalu.

Kongres mengecam Trump lantaran serangan AS ke Iran itu terjad itanpa konsultasi terlebih dahulu kepada DPR dan Senat AS.

Serangan tersebut dilakukan pada Sabtu (21/6) malam waktu setempat atau Minggu pagi waktu Iran, dan menargetkan tiga lokasi strategis: Isfahan, Natanz, dan Fordow.

Dalam pernyataannya, Trump mengklaim salah satu target utama, yakni Fordow, yang terletak di bawah pegunungan, berhasil dihancurkan.

“Jika Iran tidak menghentikan perang terhadap Israel, serangan berikutnya akan jauh lebih besar dan jauh lebih cepat,” tegas Trump dalam konferensi pers di Gedung Putih.

Kritik Tajam dari Kongres

Langkah Trump ke Iran ini langsung mendapat reaksi keras dari anggota parlemen dari Partai Demokrat maupun Republik.

Mengutip laporan The New York Times, para anggota Kongres mempertanyakan dasar hukum dari keputusan tersebut.

Senator Demokrat Chris Van Hollen menyebut tindakan itu sebagai pelanggaran konstitusi.

Ini dikarenakan mengabaikan kewenangan Kongres yang secara eksplisit memiliki hak untuk mendeklarasikan perang.

Senator Tim Kaine dari Virginia menyebut keputusan Trump sebagai tindakan “main hakim sendiri” yang berbahaya, karena bisa menyeret AS ke perang terbuka dengan Iran tanpa alasan keamanan nasional yang mendesak.

“Kalau Iran yang menyerang fasilitas nuklir AS, bukankah kita akan menganggap itu sebagai deklarasi perang?” ucap Kaine.

Dari Partai Republik, Anggota Kongres Thomas Massie juga menyayangkan keputusan tersebut dan menilai Trump seharusnya meminta izin Kongres terlebih dahulu.

Berlanjut ke halaman berikutnya >>>

Apa Kata Hukum dan Konstitusi?

Konstitusi AS dalam Pasal I memberikan wewenang kepada Kongres untuk menyatakan perang.

Sementara Pasal II menetapkan bahwa presiden menjabat sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata.

Pemerintah AS kerap menggunakan Pasal II sebagai dasar hukum untuk melancarkan operasi militer terbatas tanpa persetujuan Kongres.

“Jawaban singkatnya: ya, presiden memang memiliki wewenang untuk melakukan serangan militer terbatas tanpa izin Kongres, dan ini telah menjadi praktik yang sudah berlangsung lama,” Ucap hukum konstitusi Claire Finkelstein dari University of Pennsylvania.

Namun, profesor Andrew Rudalevige dari Bowdoin College menilai serangan terhadap Iran tidak dapat disahkan, karena tidak ada ancaman langsung yang perlu segera dibalas.

Sementara itu, pakar hukum Jessica Levinson dari Loyola Law School menjelaskan bahwa presiden hanya boleh bertindak militer jika skalanya tidak mencapai tingkat peperangan penuh,meski batasannya tak diatur secara tegas dalam hukum.

Sebagai catatan, Kongres AS terakhir kali menggunakan kewenangannya untuk menyatakan perang pada 1942, usai serangan Jepang ke Pearl Harbor dalam Perang Dunia II.

Bagaimana Preseden dari Presiden Sebelumnya?

Beberapa presiden AS sebelumnya juga melakukan tindakan yang mirip.

Barack Obama memerintahkan serangan ke Libya tanpa persetujuan Kongres.

Bill Clinton juga melakukan hal yang sama saat menyerang Balkan pada 1990-an.

Joe Biden juga melancarkan serangan ke target Houthi di Yaman dan wilayah Suriah.

Trump sendiri pada masa jabatan pertamanya pernah memerintahkan pembunuhan Jenderal Qasem Soleimani, tokoh penting militer Iran, tanpa izin Kongres.

Bagaimana dengan Undang-Undang ‘War Powers’?

Sejumlah kritikus dan pengamat menilai serangan Trump terhadap Iran melanggar ‘War Powers Resolution’, undang-undang yang disahkan pada 1973 setelah AS menarik pasukan dari Vietnam.

UU ini bertujuan membatasi kewenangan presiden dalam menggunakan kekuatan militer secara sepihak.

Meski UU ini mengizinkan presiden menggunakan kekuatan militer dalam kondisi darurat tanpa persetujuan Kongres, di dalamnya disebutkan bahwa presiden “dalam setiap kemungkinan harus berkonsultasi dengan Kongres sebelum mengerahkan Angkatan Bersenjata ke dalam konflik.”

Namun, menurut John Bellinger, mantan penasihat hukum Gedung Putih, dalam hal ini Trump tampaknya tidak memenuhi kewajiban tersebut.

“Berdasarkan informasi sejauh ini, tampaknya Presiden Trump tidak melakukan konsultasi substantif, hanya memberi tahu beberapa pimpinan Partai Republik,” ujar Bellinger seperti dikutip BBC.

Media AS melaporkan bahwa pemimpin minoritas Senat dari Demokrat, Chuck Schumer, hanya diberitahu sekitar satu jam sebelum serangan dimulai, itupun tanpa rincian yang memadai.

Juru Bicara Gedung Putih Karoline Leavitt menyatakan melalui platform X bahwa pemerintahan telah melakukan “panggilan sopan bipartisan” kepada pimpinan Kongres, termasuk Schumer.

Sesuai UU War Powers, presiden wajib memberi pemberitahuan resmi kepada Kongres dalam waktu 48 jam setelah tindakan militer dilakukan. Menteri Pertahanan Pete Hegseth mengatakan bahwa kewajiban tersebut telah dipenuhi setelah pesawat tempur kembali dengan selamat.

“Pemberitahuan telah dilakukan sesuai ketentuan War Powers Act,” tegas Hegseth.

Apa Trump Langgar Konstitusi Perintahkan AS Gempur Iran?