Penulis : Redaksi

Jakarta — Perang antara Iran dan Israel makin memanas. Sejak akhir pekan lalu, Amerika Serikat ikut campur dalam perang itu.

Campur tangan dilakukan dengan menyerang 3 situs nuklir Iran, yakni; fasilitas pengayaan uranium Natanz, Fordo, dan Isfahan.

Presiden AS Donald Trump mengklaim operasi yang dinamakan ‘Midnight Hammer’ sukses. Setelah serangan, ia memaksa Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei dan pasukannya untuk menyerah dan kembali ke meja perundingan.

“Iran negara penindas di Timur Tengah, sekarang harus berdamai. Jika tidak, serangan di masa depan akan jauh lebih besar dan jauh lebih mudah,” ancam Trump, Minggu (22/6), dikutip dari Anadolu.



Campur tangan AS makin memantik respons Iran. Mereka berencana menutup Selat Hormuz, sebuah jalur perdagangan vital bagi ekonomi global.

Media Pemerintah Iran melaporkan parlemen mendukung rencana penutupan selat itu. Kendati, keputusan akhir berada di tangan Dewan Keamanan Nasional Iran.

Blokade jalur laut sempit antara Iran dan Oman itu diprediksi berdampak besar bagi perekonomian dunia. Pasalnya, Selat Hormuz merupakan jalur perdagangan 20 juta barel minyak per hari (BOPD) alias 20 persen dari konsumsi global.

Hormuz juga akses mondar-mandir kapal pengangkut gas alam cair (LNG).

Pakar Investasi dan Hubungan Internasional Zenzia Sianica Ihza menilai ancaman blokade urat nadi energi global itu bukan gertak sambal. Indonesia dipastikan terseret dalam bahaya yang tidak kecil kalau itu sampai dilakukan Iran.

Bahaya mulai dari lonjakan harga energi, inflasi, sampai guncangan pasar keuangan.

“Jika Iran menutup selat ini, dunia akan mengalami lonjakan harga minyak dan gas yang langsung menekan APBN melalui pembengkakan subsidi energi serta melemahnya neraca perdagangan,” katanya kepada .com, Senin (23/6).

“Dampak lanjutannya akan merembet pada sektor-sektor domestik. Ongkos produksi industri meningkat, transportasi publik dan logistik terganggu, dan daya beli masyarakat menurun. Semua ini menempatkan Indonesia, seperti banyak negara berkembang lain, pada posisi yang sangat rentan,” wanti-wanti Zenzia.

Menurutnya, pemblokiran Selat Hormuz bukan sekadar membuat Tel Aviv kebakaran jenggot. Kondisi global juga dipastikan terguncang. Inflasi energi dan gejolak pasar keuangan menjadi dua bahaya nyata yang sudah mulai menyengat.

Zenzia memprediksi harga minyak mentah Brent berpotensi mengamuk tembus US$120 per barel. Ini bukan hal mustahil jika eskalasi di Timur Tengah membesar, membuat perang regional menjalar menjadi konflik global.

“Bagi Indonesia dan dunia, pilihan terbatas. Tidak ikut perang bukan berarti tak terkena dampak … Indonesia perlu segera memikirkan peningkatan cadangan energi melalui percepatan diversifikasi sumber pasokan energi dari negara non-Timur Tengah dan memperkuat cadangan strategis minyak nasional,” tutur Zenzia.

“Presiden Prabowo Subianto selayaknya mulai memikirkan stimulus konsumsi dengan cara memperluas bantuan sosial dan subsidi langsung kepada kelompok rentan untuk menjaga daya beli,” imbuhnya.

Ia menilai krisis di Timur Tengah berpotensi berakhir dalam dua arah. Pertama, eskalasi yang berujung perang global. Kedua, pembukaan kembali jalur diplomatik dari negara yang berkonflik.

Terlepas dari itu, Zenzia menekankan pentingnya memperkuat perlindungan iklim investasi. Ia menyarankan stakeholder terkait untuk mempertebal kepastian hukum, menjaga stabilitas politik, dan memberi insentif fiskal agar Indonesia tetap menarik bagi investor yang mencari zona aman di tengah gejolak global.

Peran Indonesia sebagai negara non-blok juga dinanti dunia. Perlu ada aksi diplomasi yang apik dan terukur dari Prabowo beserta jajarannya. Jalan damai bisa disuarakan setidaknya melalui G20, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), maupun ASEAN Plus Three (APT).

Pengamat Energi Universitas Padjadjaran (Unpad) Yayan Satyakti mengamini bahwa sukar lari dari dampak buruk blokade Hormuz.

Oleh karena itu, ia mendorong Presiden Prabowo turut mengecam serangan AS. Munculnya Indonesia di kancah global juga dianggap penting untuk mencegah intervensi negara besar lain, seperti Rusia dan China.

Ia mengingatkan bagaimana perang Ukraina dan Rusia yang melahirkan disrupsi global. Yayan mewanti-wanti rangkaian bahaya menunggu jika Indonesia terus diam, mulai dari merosotnya perdagangan internasional, turunnya pendapatan per kapita, sampai koreksi pertumbuhan ekonomi.

“Penurunan nilai tukar, penurunan permintaan perdagangan luar negeri sehingga berdampak pada penurunan ekspor, kemudian penurunan pendapatan masyarakat. Dengan adanya peningkatan harga minyak akan berdampak pada peningkatan harga BBM yang memiliki multi round effect,” jelas Yayan.

Yayan menunjuk wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara sebagai dua kawasan yang akan gigit jari, andai Selat Hormuz benar ditutup. Menurut perhitungannya, Singapura selama ini memborong 663 ribu barel minyak dari Iran.

Sedangkan Indonesia adalah pengonsumsi minyak yang dibeli Negeri Singa itu.

Yayan memproyeksi harga minyak dunia bisa terbang hingga US$145 per barel kalau Iran menutup Selat Hormuz. Lonjakan harga ini berpotensi terjadi jika blokade benar-benar dilakukan Iran dan berlangsung cukup lama, setidaknya dalam jangka waktu bulanan.

“Jika kita lihat dengan kondisi perang seperti ini, justru dengan menutup Selat Hormuz dalam jangka waktu relatif panjang itu akan merugikan Iran. Karena pembiayaan untuk perang jika tidak diimbangi dengan aktivitas ekonomi yang kuat, saya kira itu akan menyebabkan Iran tidak mampu bertahan dalam jangka panjang,” prediksinya.

“Jadi, dipastikan bahwa kemungkinan aktivitas ekonomi akan tetap berjalan. Iran juga sangat memerlukan Selat Hormuz karena itu salah satu trade hub untuk melakukan aktivitas perdagangan dengan negara lain,” tegas Yayan.

Di lain sisi, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengingatkan bahwa Indonesia sudah berstatus net importir minyak. Ini terjadi imbas produksi di Tanah Air yang hanya bisa menyentuh kisaran 600 barel di tengah kebutuhan dalam negeri yang tembus 1,6 juta barel minyak per hari.

Komaidi menyarankan pemerintah segera menghemat BBM yang dijual di pasar. Ia mendorong penggunaannya benar-benar dimaksimalkan untuk transportasi publik. Menurutnya, cara ini cukup ampuh dalam menghadapi gejolak dalam jangka pendek sampai jangka menengah.

Apalagi, ia mencatat bahwa konsumsi BBM umumnya banyak di kota-kota besar. Komaidi menegaskan dengan memasifkan penggunaan KRL, MRT, sampai kendaraan listrik bisa menjadi opsi meringankan beban.

“Jadi, memaksimalkan transportasi umum. Dengan transportasi umum, saya kira nanti konsumsi BBM bisa diturunkan dengan sendirinya sebagai antisipasi dari kondisi yang tidak menentu,” saran Komaidi.

“Stok (BBM) saya kira perlu dijaga keamanannya sehingga diprioritaskan untuk transportasi umum. Perlu ada kebijakan bilamana tidak perlu untuk beraktivitas keluar dan sebagainya, itu yang saya kira perlu dibatasi (BBM). Karena kita sudah net importir. Ini yang saya kira perlu diantisipasi sampai menunggu segala sesuatunya bisa lebih baik,” tambahnya.

Sedangkan Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyarankan pemerintah untuk memperkuat cadangan devisa. Di lain sisi, perlu ada komunikasi intensif dengan mitra dagang utama demi memastikan kelancaran ekspor.

Kebijakan fiskal di kancah domestik juga harus diperhatikan Prabowo Cs. Yusuf menyebut pemerintah mesti mengarahkan fokus untuk menjaga konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi penopang utama pertumbuhan.

“Artinya, bansos harus tetap dijaga atau bahkan diperkuat secara selektif, terutama bagi kelompok rentan yang terdampak inflasi. Di sisi lain, insentif bagi UMKM dan sektor padat karya juga perlu diperluas agar penyerapan tenaga kerja tetap terjaga. Ini penting karena perang di luar negeri bisa berdampak nyata pada kantong masyarakat di dalam negeri,” jelas Yusuf.

Ia juga berpesan agar Indonesia tak lupa dengan tekanan eksternal berbentuk tarif impor tinggi. Indonesia harus terus siaga dengan kelanjutan tarif resiprokal yang dipatok Presiden AS Donald Trump.

Nasib Indonesia juga belum jelas. Sampai sekarang tak kunjung ada kepastian apakah tarif 32 persen yang dibebankan untuk Indonesia berhasil ditekan atau justru malah ditambah. Terlebih, masa jeda penerapan tarif akan segera berakhir pada 8 Juli 2025 mendatang.

[Gambas:Photo CNN]

Segera Hemat BBM dan Geber Penggunaan Transportasi Massal