Menurutnya, pemblokiran Selat Hormuz bukan sekadar membuat Tel Aviv kebakaran jenggot. Kondisi global juga dipastikan terguncang. Inflasi energi dan gejolak pasar keuangan menjadi dua bahaya nyata yang sudah mulai menyengat.
Zenzia memprediksi harga minyak mentah Brent berpotensi mengamuk tembus US$120 per barel. Ini bukan hal mustahil jika eskalasi di Timur Tengah membesar, membuat perang regional menjalar menjadi konflik global.
“Bagi Indonesia dan dunia, pilihan terbatas. Tidak ikut perang bukan berarti tak terkena dampak … Indonesia perlu segera memikirkan peningkatan cadangan energi melalui percepatan diversifikasi sumber pasokan energi dari negara non-Timur Tengah dan memperkuat cadangan strategis minyak nasional,” tutur Zenzia.
“Presiden Prabowo Subianto selayaknya mulai memikirkan stimulus konsumsi dengan cara memperluas bantuan sosial dan subsidi langsung kepada kelompok rentan untuk menjaga daya beli,” imbuhnya.
Ia menilai krisis di Timur Tengah berpotensi berakhir dalam dua arah. Pertama, eskalasi yang berujung perang global. Kedua, pembukaan kembali jalur diplomatik dari negara yang berkonflik.
Terlepas dari itu, Zenzia menekankan pentingnya memperkuat perlindungan iklim investasi. Ia menyarankan stakeholder terkait untuk mempertebal kepastian hukum, menjaga stabilitas politik, dan memberi insentif fiskal agar Indonesia tetap menarik bagi investor yang mencari zona aman di tengah gejolak global.
Peran Indonesia sebagai negara non-blok juga dinanti dunia. Perlu ada aksi diplomasi yang apik dan terukur dari Prabowo beserta jajarannya. Jalan damai bisa disuarakan setidaknya melalui G20, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), maupun ASEAN Plus Three (APT).
Pengamat Energi Universitas Padjadjaran (Unpad) Yayan Satyakti mengamini bahwa sukar lari dari dampak buruk blokade Hormuz.
Oleh karena itu, ia mendorong Presiden Prabowo turut mengecam serangan AS. Munculnya Indonesia di kancah global juga dianggap penting untuk mencegah intervensi negara besar lain, seperti Rusia dan China.
