“TPL mengklaim legalitas lewat izin konsesi negara, tetapi secara de facto mereka beroperasi di tanah adat yang tidak pernah dilepaskan oleh masyarakat. Ini bentuk penjajahan gaya baru yang dibungkus dengan narasi pembangunan,” tuturnya. Ia menilai, argumentasi korporasi yang menggunakan dalih ‘kontribusi ekonomi’ hanya menipu logika publik. Faktanya, daerah-daerah yang dikelilingi konsesi TPL justru masih berada dalam lingkaran kemiskinan.
Jorgi juga menekankan ancaman jangka panjang. Jika tidak dihentikan, ia memprediksi bahwa kawasan hulu Danau Toba akan kehilangan daya tampung ekologisnya dalam 15–20 tahun ke depan. “Kita sedang menyaksikan apa yang oleh para ahli disebut sebagai ‘ekosida pelan-pelan’. Ini bukan sekadar isu lokal, tapi ancaman terhadap sumber air ribuan warga di Sumatera Utara,” katanya.
Untuk itu, ia menyerukan aksi kolektif. Bukan hanya demo, tapi juga riset, edukasi publik, dan tekanan hukum terhadap negara yang lalai mengontrol korporasi. “Masyarakat adat sudah bersuara, gereja sudah bersuara, mahasiswa juga harus bersuara dengan data dan keberanian,” tegasnya.
