Penulis : Redaksi

Muaro Jambi – Masyarakat Universitas Jambi belakangan ini dikejutkan dengan berita terkait Pemilihan Umum Raya (PEMIRA) yang sudah memasuki babak baru. Melansir dari unja.ac.id dalam kategori berita seputar kampus (24/01/2025), rapat Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni bersama perwakilan tujuh BEM fakultas pada Rabu (22/01/2025) lalu telah menyepakati beberapa poin penting. Forum yang juga dihadiri oleh Ketua Tim Fasilitasi I dan II (Prof. Dr. Supian, S.Ag., M.Ag. dan Dr. Fuad Muchlis, S.P., M.Si.) tersebut telah menyepakati regulasi PEMIRA UNJA menggunakan mekanisme kongres.

Banyak mahasiswa yang menyayangkan keputusan tersebut, tak terkecuali mahasiswa yang berasal dari UKM, OK, HIMA/IMA, dan DPM di Universitas Jambi itu sendiri. Beragam berita kritik dan opini tersebar di kalangan mahasiswa, bahkan terdapat flayer “Angsa Biru” yang sempat viral dengan mengatasnamakan forum Keluarga Besar Mahasiswa UNJA. Pasalnya, selama ini Universitas Jambi selalu mengadakan PEMIRA dengan sistem pemilihan langsung, baik di tingkat universitas maupun fakultas untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden BEM, Ketua dan Wakil Ketua MAM, Gubernur dan Wakil Gubernur BEM, hingga DPM di fakultas. Namun, hasil keputusan yang ada jauh dari harapan. Selain itu, narasi tentang pemilihan BEM fakultas dan DPM juga nihil ditemukan. Apakah BEM di tingkat fakultas dianggap tidak penting? Seyogianya, pemilihan tersebut dilaksanakan secara serentak dan menjadi prioritas utama jika benar-benar ingin menghidupkan kembali demokrasi di Universitas Jambi yang lebih dari tiga tahun ini vakum. Lalu, benarkah sistem kongres tidak relevan untuk dilaksanakan?

Pemilihan Umum VS Perwakilan/Kongres

Tidak hanya di kampus, isu perubahan sistem pemilihan juga dapat kita lihat dengan terang-benderang di sekitar kita dalam skala lebih luas, yaitu negara Republik Indonesia. Pernyataan Presiden Prabowo yang mendukung ide pilkada kembali dipilih oleh DPRD saat sambutan di acara puncak HUT Ke-60 Partai Golkar, 12 Desember 2024 lalu, sempat menjadi diskusi panas di publik. Pernyataan tersebut menuai pro-kontra dengan alasan efisiensi anggaran pilkada. Namun, jika ditilik berdasarkan catatan sejarah, aturan kepala daerah secara langsung dipilih oleh rakyat memang sebenarnya masih terbilang baru. Sejak Indonesia merdeka hingga berakhirnya Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden ke-2 RI Soeharto, pilkada selalu diwakilkan oleh DPR. Kebijakan itu runtuh setelah Reformasi dan terbitnya Undang-Undang tentang Otonomi Daerah. Aturan pemilihan langsung pun berlaku sampai sekarang. Selain itu, dalam sistem presidensial juga tidak ada lembaga legislatif memilih lembaga eksekutif.